
Kereta cepat Whoosh. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menelan biaya hingga Rp 116 triliun.(Dokumentasi KCIC)
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh kini menghadapi beban finansial yang signifikan akibat pembengkakan anggaran. Proyek Whoosh kini mencatat total utang hingga Rp 116 triliun atau sekitar 7,2 miliar dollar AS. Sebuah lonjakan signifikan yang membebani PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan konsorsium BUMN lainnya.
Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, menyebut utang tersebut sebagai potensi “bom waktu” yang dapat mengancam stabilitas keuangan perusahaan jika tidak segera dikelola. Ia pun menegaskan bahwa, pihaknya tengah menyiapkan langkah untuk membahas utang proyek tersebut bersama Badan Pengelola Investasi Daya Anggaran Nusantara (BPI Danantara) sebagai upaya mencari solusi menyeluruh.
“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga. Ini bom waktu,” kata Bobby dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025), dikutip dari kompas.com.
Sebelumnya, Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Emarini, menilai kinerja PT KAI sejatinya cukup baik. Namun, ia menyoroti persoalan utang proyek Whoosh yang hingga kini belum terselesaikan.
“Kereta Api sebenarnya tinggi, bisa laba, tapi karena punya Whoosh jadinya defisit,” ujar Anggia.
Senada dengan Anggia, anggota Komisi VI lainnya, Darmadi Durianto, menilai bebankeuangan yang ditanggung PT KAI dalam dua tahun terakhir terhitung cukup besar, terutama karena harus menangung proyek kereta cepat.
“Itu kalau dihitung 2025, itu bisa beban keuangan dan dari kerugian KCIC bisa bisa capai Rp4 triliun lebih. Dari beban KCIC sendiri sudah Rp940 miliar, dikalikan dua sudah Rp4 triliun lebih,” kata Darmadi.
Darmadi juga memperkirakan, jika utang tersebut tidak segera diatasi, jumlah utang PT KAI akan semakin membengkak hingga Rp6 triliun.
Meski sempat diklaim sebagai proyek bisnis tanpa beban APBN, realita utang dengan bunga tinggi dari China membuat pemerintah dan BUMN terlibat harus menanggung beban berat. Saat ini, langkah restrukturisasi dan negosiasi bunga menjadi fokus untuk meredam dampak ekonomi ke depan.